Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by

Friday, February 24, 2012

KERAJAAN MATARAM ISLAM


Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582, pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede, para raja yang pernah memerintah di Kerajaan mataram yaitu penembahan senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601 – 1677).

Dalam sejarah islam, Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (indonesia).
Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang, Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.

Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para penguasa setempat, Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya.
Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng Mangir, namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu, ia membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya.

Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia, Ia digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar, Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang, sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.

Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan.
Dalam peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan, Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga, Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede, untuk memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar, misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya, pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.

Sebagai raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta, dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah jawa.

Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sulta. Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara, Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.

Panembahan Senopati

Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat, selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara, pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.

Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601, ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 – 1613).
Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat, setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.

Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak, Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan” pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”.
Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.

Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.

Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur, daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep, peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya, di tahun yang sama Lasem menyerah,
Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya, untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.

Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram, sukses besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumengggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk menggempur batavia.

Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumengggung Baureksa gugur, kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang, maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali menyerbu Batavia.
Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya, penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp, akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga, selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.

Di luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan islam di tanah jawa, Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpati dari kalangan ulama,secara teratur, ia pergi ke masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya.
Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut bagi pria, dan mengenakan tutup kepala berwarna putih, dinyatakan sebagai syariat yang harus ditaati.

Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan.
Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.

Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis.
Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah jawi.

Di antara semua karyanya, peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan, Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun, masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram, perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan, namun awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak, hingga saat ini sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.

Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan, satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.

Menjelang akhir hayatnya, Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota, di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.

Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya, Mataram diperintah oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677).
Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur, wilayah kekuasaan mataram berangsur-angusr menyempit karena direbut oleh kompeni VOC, yang paling mengenaskan, pada tahun 1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.

Sepeninggal Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden.

Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.


*SEJARAH KERAJAAN MATARAM ISLAM*

Kyai Ageng Pemanahan bergelar Kyai Ageng Mataram. Mataram adalah nama daerah yang dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Sultan Hadiwijoyo, Sultan di Kerajaan Pajang, karena Kyai Ageng Mataram bersama putranya Hangabehi Loring Pasar (Danang Sutowijoyo) telah dapat mengalahkan Raden Adipati Aryo Penangsang pada tahun 1527 M di Jipang Panolan.

Kyai Ageng Pemanahan selanjutnya minta ijin kepada Sultan untuk menempati daerah Mataram itu. Sultan Hadiwijoyo mengizinkan dan berpesan,” Seorang gadis dari Kalinyamat itu supaya diasuh dan dijaga baik-baik. Apalagi sudah dewasa hendaklah dibawa masuk ke Istana”

Pesan itu disanggupi oleh Kyai Ageng Pemanahan, tetapi ia memohon agar diperkenankan mengajak putra Sultan Hangabehi Loring Pasar untuk pindah ke Mataram.
Kyai Ageng Pemanahan sekeluarga berangkatlah menuju tlatah Mataram disertai dua orang menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang, ditambah pula Nyi Ageng Nis istri Kyai Ageng Mataram dan penasehatnya Ki Ageng Juru Martani. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pon tanggal 3 Rabiulawal tahun Jimawal, dalam perjalanan mereka singgah berziarah ke Istana Pengging sehari semalam.

Kyai Ageng sekeluarga melakukan doa dan sembahyang, memohon petunjuk kepada Tuhan, melakukan semedi dan shalat hajat, doanya ternyata diterima Tuhan, muncul pertanda pepohonan seketika menjadi condong, tetapi pohon serat tinggal tetap tegap, setelah sembahyang subuh mereka berangkat menuju Mataram dan berhenti di desa Wiyoro. Selanjutnya membangun sebuah desa yakni desa Karangsari setelah singgah sementara waktu Kyai Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani mencari pohon beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kali Jogo untuk tetenger di sanalah letaknya wilayah Mataram dimaksud.

Terdapatlah pohon tersebut di sebelah barat daya Wiyoro, lalu memilih tanah sebelah selatan beringin yang hendak dipakai sebagai halaman dan rumah untuk bertempat tinggal Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga, mereka bekerja keras, hingga pembangunan rumah beliau selesai dalam waktu singkat, kemudian rumah baru segera ditempati Kyai Ageng Pemanahan yang kemudian tersohor namanya dengan gelar Kyai Ageng Mataram, banyak saudara asing ke Mataram sehingga menambah ramai dan makmurnya Mataram (sekarang dikenal dengan nama Kotagede, pusat kerajinan perak di Yogyakarta).

Syahdan gadis pingitan Sinuhun Sultan Hadiwijoyo yang berasal dari Kalinyamat kini telah dewasa, Ngabehi Loring Pasar (Raden Danang Sutowijoyo) pun telah dewasa, Ia mengganggu gadis pingitan tersebut, hal ini segera diketahui oleh ayahnya Ki Ageng Mataram, anaknya dipanggil lalu bersabda:

Ki Ageng Mataram; Anakku.. mengapa kamu berani mengganggu gadis pingitan, alangkah amarahnya Sinuhun nanti apabila mengetahui.

Raden Sutowijoyo berkata; ”Saya berani melakukan hal itu, karena telah menerima wahyu.

KAM : Bagaimana kamu dapat mengatakan demikian itu ?

R.S : Ya. Demikianlah ketika mendengar daun nyiur jatuh ayah Sultan terkejut, lagi pula ketika hendak minum air kelapa itu terkejut pula.

Kyai Ageng Mataram menyatakan, kini belum masanya dan mengajak putranya mengharap untuk berjanji tetap setia. Keduanya berangkat, pergi ke kasultanan Pajang.
Sinuhun Sultan Hadiwijoyo sedang bercengkerama dihadap para putranya dan keluarganya, melihat kedatangan Kyai Ageng Mataram diantar putranya, lalu sesudah berjabat tangan Ngabehi Loring Pasar pun menghadap menghaturkan sembah-bakti. Sinuhun bertanya dengan keheranan mengapa datang menghadap bukan waktunya menghadap.
Kyai Ageng Mataram menyatakan bahwa menghadapnya itu karena putranya telah berdosa besar berani melanggar dan mengganggu gadis pingitan dari Kalinyamat.

Dengan bijaksana Sinuhun Sultan Hadiwijoyo berkata,”Anak tidak berdosa, kalau demikian memang salah saya, tidak memikirkan anak yang telah dewasa. Oleh karena sudah terlanjur kamipun ikut menyetujui. Tetapi anak jangan dimurka, pinta Sinuhun kepada Ki Ageng Mataram.

Waktu sudah berjalan sekian lama, karena usianya sudah uzur, Ki Ageng Mataram gering lalu mangkat pada hari Senin Pon 27 Ruwah tahun Je 1533, dimakamkan di sebelah barat Istana Mataram di Kotagede, Yogyakarta.
Sementara itu, Ki Jurumartani pergi ke negeri Pajang menghadapkan putra Ki Ageng Mataram.
Sinuhun lalu bercengkerama dengan Ki Jurumartani memberitahukan tentang mangkatnya Ki Ageng Mataram, Sinuhun terkejut hatinya dan bersabda;

“Kakak Jurumartani, sebagai ganti dari penghuni Mataram ialah Ngabehi Loring Pasar dan harap dimufakati dengan nama Pangeran Haryo Mataram Senopati Pupuh”
Ki Jurumartani menyanggupi lalu mohon ijin kembali, peristiwa ini terjadi pada tahun 1540. Lalu Pangeran Haryo Mataram diangkat pada tahun Dal 1551 bergelar Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo yang menguasai tanah Jawa, kemudian menurunkan raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, demikian pula para Bupati di pantai-pantai Jawa hingga sekarang.

Kanjeng Panembahan Senopati memegang kekuasaan kerajaan 13 tahun lamanya. Sesudah gering kemudian mangkat, pada hari Jumat Pon bulan Suro tahun Wawu 1563. Dimakamkan di sebelah barat Masjid di bawah ayahandanya, selanjutnya putranya yang menggantikan dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyokrowati.
Penobatannya dalam bulan yang bersamaan dengan wafatnya Kanjeng Panembahan Senopati.

Pada suatu hari, Kanjeng Susuhunan pergi berburu rusa ke hutan. Dengan tiada terasa telah berpisah dengan para pengantar dan pengawalnya, kemudian beliau diserang punggungnya oleh rusa dan beliau jatuh ke tanah, sinuhun diangkat ke istana dan ia perintahkan memanggil kakanda Panembahan Purboyo.

Sinuhun bersabda, “Kakanda, andaikata kami sampai meninggal, oleh karena Gusti Hadipati sedang bepergian, putramu Martopuro harap ditetapkan sebagai wakil menguasai Negeri Mataram, amanat tersebut disanggupi, Sinuhun terkenal dengan gelar Sinuhun Seda Krapyak. Beliau mangkat pada bulan Besar, tuhan Jimawal 1565 dan dimakamkan di sebelah bawah makan ayahandanya, Panembahan Senopati.

Demikian sejarah singkat kerajaan Mataram, yang sampai saat ini terbukti masih berdiri kokoh, lalu dari keturunan manakah raja-raja besar Mataram ? Berikut ini saya paparkan silsilah leluhur kerajaan Mataram:

1. Sinuhun Brawijaya V, raja kerajaan Majapahit terakhir berputera Raden Bondan Kejawan yang bergelar Kyai Ageng Tarub ke III.

2. Kyai Ageng Tarub III mempunyai putra yakni Kyai Ageng Getas Pandowo.

3. Kyai Ageng Getas Pandowo berputera Ki Ageng Selo.

4. Kyai Ageng Selo berputera Ki Ageng Nis.

5. Ki Ageng Nis berputera Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram)

6. Ki Ageng Pemanahan berputera Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo.

7. Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo berputera Sinuhun Prabu Hanyokrowati.

8. Sinuhun Prabu Hanyokrowati berputera Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Kalipatullah Panetep Panatagama Senopati ing Prang

Bagi kebanyakan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan Solo, percaya dengan kisah mistik raja-raja Mataram yang berhubungan erat dengan Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Ratu Kidul entitasnya bukan lah sejenis jin, siluman atau setan, tetapi merupakan wujud panitisan dari bidadari, yang turun ke dalam dimensi gaibnya bumi (bukan alam ruh/barzah), berperan menjaga keseimbangan alam semesta khususnya sepanjang pesisir selatan Jawa dan wilayah samodra selatan Nusantara, menjaga kelestarian alam dengan mencegah atau menghukum manusia yang tidak menghormati alam semesta ciptaan Tuhan YME, atau manusia yang merusak keseimbangan alam dengan cara mengambil kekayaan alam secara serakah dan tamak, Kanjeng Ratu Kidul sebagaimana raja atau ratu gung binatara yang bijaksana dan sakti mandraguna, manembah tunduk kepada Gusti Ingkang Akaryo jagad, namun demikian, Kanjeng Ratu Kidul tetap sebagai entitas mahluk halus, dalam arti tidak memiliki raga atau jasad dalam bentuk fisik.


KISAH BALOK MATARAM

Kisah mistis di atas tidak terlepas dari sejarah pusaka balok kayu jati yang bernama Kyai Tunggulwulung, saat ini diletakkan di sebelah timur makam Gusti Kanjeng Panembahan Senopati yang membujur ke utara, panjangnya 5 meter diameter 25 cm, balok tersebut adalah bekas titihan (kendaraan/perahu) ketika Panembahan Senopati bertapa menghanyutkan diri di sungai Opak hingga sampai di kratonnya jagad halus, ialah Kanjeng Ratu Kidul, kemudian mempunyai wilayah jajahan di jagad halus, seperti ditulis dalam kitab Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, dalam tembang Sinom, yang artinya sebagai berikut ;

1) Sekalipun Kanjeng Ratu Kidul dapat menguasai samodra, apa pun kehendaknya terlaksanan, akan tetapi masih kalah wibawa dengan Gusti Kanjeng Panembahan Senopati.

2) Kanjeng Ratu Kidul sangat mengharapkan bisanya terjalin persahabatan antara kerajaan mahluk halus dengan kerajaan Senopaten, selanjutnya memohon agar sekali tempo Gusti Kanjeng Panembahan Senopati sudi mengadakan pertemuan di dalam dunia mahluk halus, sekalipun dengan susah payah Panembahan Senopati menyanggupi hingga sampai turun temurun.

Selanjutnya wawancara antara Gusti Panembahan Senopati (GPS) dengan Kanjeng Ratu Kidul (KRK), begini:

KRK;Marilah Kangmas Priyagung agigit, bersama dengan kami, tinggalkan saja Sang Permaisuri serta abdi sentana putri, anda di alam kami akan mendapatkan ganti yang lebih memuaskan hati. Pindahlah dari Mataram, hamba akan menerima dengan senang hati, didalam kerajaan kami Paduka akan penuh wibawa, kami sembah dan kami siap mengabdi sampai akhir zaman.

GPS; Karena sudah demikian cinta Dinda dengan saya, saya pun tidak akan menyia-nyiakan, saya sambut uluran kasih persahabatan Dinda, tetapi leluhur kami berpesan, bangsa manusia itu karena berasal dari bumi sebaiknya sampai akhir hayatnya juga dikubur di bumi, tidak pantas dan merupakan pantangan kami merubah jenis menjadi mahluk halus, oleh karena itu jangan khawatir saya ingkar janji, setiap hari selalu terbayang kecantikan wajah Adinda, Dalam waktu tertentu kita sekali tempo mengadakan pertemuan saja”

Demikian sekilas riwayat balok Mataram, yang sedikit banyak dapat menguak sejatinya hubungan gaib kerajaan Mataram secara turun temurun dengan kerajaan dunia halus di laut selatan, bagaimana menempatkan secara tepat dan bijaksana antara manusia dengan mahluk halus yang juga ciptaan Gusti Allah Yang Maha Wisesa, dapat sebagai contoh bagi generasi sekarang bagaimana cara memahami hubungan manusia dengan mahluk gaib.

Seyogya'nya manusia dapat bersikap bijaksana dan tidak sombong, menempatkan mereka yang gaib sebagaimana interaksi dengan manusia saling menghargai dan menghormati sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhanl, karena masih sebagai mahluk Tuhan, mahluk halus tetap memiliki karakter seperti halnya manusia, ada yang baik ada yang jahat, ada yang manembah kepada Tuhan, tetapi ada pula yang membangkang, keterangan dihimpun dari hasil wawancara Jurukunci Pasarean (makam) Agung Mataram di Kotagede dan di Imogiri Bantul dan sebagaimana dikisahkan para abdi dalem di dua Pasarean Agung tersebut.


Cakupan terluas Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645)

Ibu kota

Kota Gede (1588-1613)
⁠Karta (1613-1647)
⁠Pleret (1647-1681)

Bahasa

Jawa

Agama

Islam, Kejawen

Pemerintahan

Monarki absolut

Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan

- 1588-1601; t. 1584

Panembahan Senopati

- 1677-1681

Susuhunan Ing Ngalogo (Paku Buwono I);
⁠ Hamangku Rat II (pengasingan)

Sejarah

- wafat Sultan III Pajang

1588

- Pemberontakan Trunajaya/Penaklukan Susuhunan Ing Ngalogo

28 November 1681

Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya.
Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.

Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura, Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim, Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

Masa awal

Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati, pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang.
Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang, lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.

Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak, karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak, setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro, ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

Sultan Agung

Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC, setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).

Terpecahnya Mataram

Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave ini dihapus.

Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta.
Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan").
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan, pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi, pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.

Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal, Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah, walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.

Peristiwa Penting

1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.

1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.

1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal, Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).

1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi, Sutawijaya dan pasukannya selamat.

1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.

1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).

1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma".
Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"

1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.

1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.

1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan, Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.

1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.

1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.

1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I.
Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.

1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.

1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa.
Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).

1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.

1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.

1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.

1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.

1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan,
P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.

1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830.
12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.

1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.

1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman.
Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.

1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I.
Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".

1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.

1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.

1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.

1799 - Voc dibubarkan

1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram.,
P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".

1830 - Akhir perang Diponegoro, seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda